Panggilan Hidup Trappist Bagian Ketiga

III. Proses Pembentukan Para Rahib

1. Tahap-tahap Hidup Rahib

Masuk ke dalam biara tidak berarti menjadi suci dalam waktu singkat. Tidak ada seorang pun yang menjadi rahib secara otomatis. Seorang anggota baru tentu masih harus banyak menyesuaikan diri dengan irama hidup Pertapaan, de­ngan sesama rahib yang menjadi saudara-saudara barunya, dengan segala suka duka hidup bersa­ma.

Selama tahun pertama, yang disebut masa “postulat”, anggota baru dipersiapkan untuk secara berangsur-angsur beralih dari cara kehidupan di luar ke dalam cara kehidupan di Pertapaan. Dalam tahap ini, komunitas semakin mengenal dia, begitupun sebaliknya.

Sesudah menjalani masa postulat, ia diterima menjadi novis, mulailah tahap resmi dan hidup membiara. Dalam masa “novisiat”, ini ia mendapat pembentukan dasar hidup kerahiban. Tahap novisiat dilangsungkan selama dua tahun.

Pada akhir masa novisiat, ia diperbolehkan mengikat diri pada komunitas dalam ikatan yang disebut “kaul sementara”. Masa pembentukannya dalam tahap ini, yang disebut masa “monastikat”, dimaksudkan untuk memperdalam dan mengem­bangkan pembentukan dasar yang telah diperoleh di novisiat. Khusus untuk Pertapaan Rawase­neng, dalam masa monastikat diberikan kursus-­kursus selama 7 tahun. Kursus itu meliputi ba­han-bahan seperti: Kitab Suci, Filsafat, Teologi, dan bahan lainnya.

Setelah menjalani masa kaul sementara sekurang-kurangnya selama tiga tahun, ia diperkenankan mengikrarkan kaul agung. Dalam tahap ini, ia mengikat diri pada komunitas secara definitif untuk seumur hidup. Dengan kaul agung, pembentukan belum selesai, melainkan harus dilanjutkan sampai mati. Inilah yang dise­but on going formation (pembentukan terus­-menerus). Seorang rahib perlu dibentuk dan membentuk diri terus-menerus, terlebih-lebih untuk zaman sekarang, yang ditandai oleh situasi yang selalu berubah dengan cepat dan mendalam.

Setiap kali rahib harus mawas diri untuk meng­olah perubahan-pembahan itu dan menentukan sikap yang tepat terhadapnya. Di satu pihak, rahib diminta untuk bersikap terbuka dan flek­sibel. Di lain pihak, ia harus kritis dan tetap berpedoman pada tradisi kerahiban pada umum­nya serta tradisi Cisterciensis pada khususnya.

2. Pembentukan Imamat

Panggilan Cisterciensis pertama-tama ada­lah panggilan untuk menjadi rahib. Karena itu se­tiap anggota pertama-tama diarahkan dan diben­tuk untuk menjadi seorang rahib. Namun demiki­an, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya rahib imam. Akan tetapi tetap harus dibedakan antara panggilan menjadi rahib dan panggilan menjadi imam. Panggilan imamat dan kerahiban pertama-tama adalah demi kepentingan serta pe­layanan komunitasnya. Diharapkan seorang rahib imam dapat mengintegrasikan panggilannya se­bagai rahib dan sebagai imam.

Untuk menjadi rahib imam, selain adanya panggilan imamat dan kepentingan komunitas, diperlukan suatu persyaratan khusus, antara lain studi yang dituntut dari seorang calon imam pada umumnya. Di Pertapaan Rawaseneng, studi untuk menjadi imam itu dijalankan sesudah kaul agung.

3. Persyaratan Masuk

Biara Cisterciensis bukanlah tempat pelarian bagi mereka yang gagal dalam hidup bermasyarakat. Tidak sembarang orang dapat diterima be­gitu saja. St. Benediktus dalam Peraturannya me­nyarankan Abas untuk menyelidiki para calon, apakah mereka sungguh-sungguh mencari Allah. Sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh seorang calon rahib dapat dirumuskan sebagai berikut:

  • cinta akan alam kesunyian dan hidup tera­sing dari dunia,
  • cinta akan hidup doa dan samadi, dapat menghargai ibadat bersama, bukan pertama­-tama karena rasa terharu, melainkan karena kesadaran akan nyala kasih ilahi,
  • kemampuan untuk hidup bersama,
  • pengertian yang jelas dan real akan inti hi­dup kerahiban,
  • tidak segan dan cepat patah semangat dalam menghadapi kesukaran dan rintangan,
  • bersikap optimis dan gembira, tak mudah cepat tersinggung,
  • berpandangan realistis.

Itu semua beberapa sifat yang diperlukan, di samping persyaratan umum, seperti:

  • sudah dipermandikan secara Katolik seku­rang-kurangnya selama lima tahun,
  • berpendidikan serendah-rendahnya tamatan SMA/sederajat,
  • berusia antara 20 – 35 tahun,
  • sehat baik jasmani maupun mental.

Biasanya para peminat dianjurkan untuk da­tang meninjau langsung ke Rawaseneng terlebih dahulu, selama beberapa waktu di Kamar Tamu. Kesempatan mengunjungi ini diulangi untuk jangka waktu 1-3 bulan di dalam komunitas, sampai dirasa cukup matang baik dari pihak pe­minat maupun dan pihak Pertapaan.

Gerakan hidup kerahiban mulai timbul seki­tar permulaan abad IV, di padang gurun Mesir sekitar Bengawan Nil. Gerakan ini didorong oleh keinginan batin yang berkobar-kobar untuk menghayati hidup Kristen secara radikal dan konsekuen.  Baca lebih lanjut

Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-­Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang di­baktikan kepada doa. Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bu­kan karena, ia tak mau ambil pusing akan kese­lamatan mereka, melainkan karena dengan pang­gilannya itu, ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disum­bangkannya? Baca lebih lanjut

Masuk ke dalam biara tidak berarti menjadi suci dalam waktu singkat. Tidak ada seorang pun yang menjadi rahib secara otomatis. Seorang anggota baru tentu masih harus banyak menyesuaikan diri dengan irama hidup Pertapaan. Baca lebih lanjut

Sesuai dengan semangat hidup kerahiban yang bercorak kontemplatif para rahib Rawaseneng membatasi diri dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Pembatasan dan keterpisahan ini bukan berarti sama sekali tertutup dan mengiso­lasi diri dari dunia luar. Baca lebih lanjut