Panggilan Hidup Trappist Bagian Kedua

II. Corak Hidup Para Rahib

1. Panggilan Menjadi Rahib

Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-­Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang di­baktikan kepada doa. Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bu­kan karena, ia tak mau ambil pusing akan kese­lamatan mereka, melainkan karena dengan pang­gilannya itu, ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disum­bangkannya?

Secara singkat dapat dikatakan: panggilan seorang rahib mengingatkan sesamanya akan nilai-nilai rohani yang harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi. Seorang rahib menjadi semacam tanda, suatu petunjuk, untuk memberikan kesak­sian akan keagungan kasih Allah dan akan per­saudaraan akan semua orang dalam Kristus. Itulah panggilan hidupnya, sekaligus sumbang­annya yang utama.

Panggilan hidup itu dijalankan dalam kesu­nyian. Kesunyian yang merupakan sarana untuk memudahkan setiap orang bertemu dengan Tu­han, bagi rahib menjadi suatu kebutuhan perma­nen dalam menghayati panggilan hidupnya. tS. Antonius pernah berkata, “Sebagaimana ikan akan mati jika terlalu lama ditaruh di darat, demikian pun rahib akan hancur jika terlalu lama tinggal di luar kesunyian”.

Sebagai jawaban atas kasih Allah, rahib menjalani hidup yang dibaktikan kepada doa ini melalui sarana-sarana kerahiban lainnya: ketaat­an, hidup wadat, kemiskinan, berjaga dan berpuasa, kekerasan hidup, kerja tangan, bacaan suci, ibadat bersama, dan doa pribadi dalam kehe­ningan. Semua sarana itu merupakan akibat dan tujuannya untuk hidup melulu bagi Allah.

Melalui semua sarana itu rahib, ingin meng­ungkapkan tekadnya untuk menjadikan Allah sungguh-sungguh pusat hidupnya. Dengan ren­dah hati dan tak kunjung henti, dengan segala usaha, ia mencari wajah Allahnya. Ia ingin selu­ruh hidupnya berakhir dan tercurah habis di hadapan-Nya dan untuk Dia. Karena Ia berhak atas persembahan diri itu. Hanya Dia melulu yang berhak memiliki persembahan hidup seutuhnya. Itulah hidup yang biasa disebut Kontem­platif, hidup yang sama sekali diarahkan sepenuhnya kepada persatuan dengan Allah.

Cita-cita hidup yang sederhana, mendalam dan indah ini tak dapat diraih tanpa pengurbanan. Seperti seseorang menemukan harta tak ternilai yang merebut seluruh minat perhatiannya, se­hingga ia rela meninggalkan segalanya demi me­miliki harta yang telah mempesona hatinya. Begitulah kira-kira panggilan seorang rahib! Ia rela mengurbankan suatu kebaikan dan cinta de­mi kebaikan dan cinta yang lebih besar lagi. Hanya dengan keyakinan dan kesadaran inilah orang akan bertahan dengan tekun dan setia dalam panggilannya sebagai rahib. Ia melihat dalam hidup kerahibannya suatu panggilan akan adanya nilai yang lebih dan nilai-nilai lainnya, bahkan suatu nilai yang paling tinggi dan mutlak.

Kesadaran dan keyakinan inilah yang me­nyebabkan ia rela berjuang, bersama dan di dalam Kristus tanpa memanjakan diri sendiri, untuk mengalahkan kelekatan pada aku-nya supaya melekat pada Allah melulu. Inilah per­juangan yang membebaskan dia, sehingga menjadikan ia mampu mencintai Allah dengan sege­nap hati, segenap akal budi dan segenap tenaga. Itulah dambaan setiap rahib!

Panggilan Hidup Trappist

2. Hidup Bersama

Rahib Cisterciensis termasuk golongan rahib senobit. Karena itu kehidupan bersama termasuk inti hidup mereka. Hidup bersama ini dinamakan juga hidup berkomunitas. Kebersamaan ini terutama terletak dalam kebersamaan semangat, ke­bersamaan hati. Tetapi kebersamaan hati perlu diungkapkan dalam kebersamaan lahir. Karena itu dalam biara banyak latihan bersama: doa bersama, kerja bersama, makan bersama. Semua itu merupakan sarana untuk saling menguatkan dalam mengejar cita-cita bersama.

Tetapi dalam biara Cisterciensis, kesunyian juga termasuk inti hidupnya. Maka baik kebersamaan maupun kesunyian harus dijaga dan dijamin. Para rahib harus mengusahakan adanya keseimbangan antara kesunyian dan komunikasi. Kesunyian di sini bukan berarti membisu total seumur hidup. Komunikasi antar sesama rahib diperkenankan meskipun dibatasi dan dengan te­tap menjaga suasana hening dalam biara. Di samping latihan bersama, ada juga saat-saat hening yang dapat digunakan secara leluasa oleb rahib sendiri-sendiri.

Setiap kehidupan bersama mengandaikan adanya seorang pemimpin. Begitupun setiap bia­ra Cisterciensis yang bercorak senobit. Pemimpin biara disebut Abas, artinya “bapak rohani”. Menu­rut St. Benediktus, bapak rohani yang sesungguh­nya di dalam biara adalah Kristus sendiri. Abas diimani sebagai wakil Kristus dalam biara. Kare­na itu, Abas harus memimpin para rahibnya me­nurut semangat Kristus sendiri, yang datang bu­kan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Abas harus melihat tugasnya lebih sebagai suatu pengabdian. Abas berperanan penting untuk me­nyatukan komunitas dalam mengejar cita-cita bersama. Ia juga menyadarkan dan mengarahkan komunitas kepada cita-cita Ordo.

3. Tiga Latihan Utama

Doa bersama, bacaan suci, dan kerja tangan sejak zaman dahulu menjadi tiga latihan dasar bagi pembentukan hidup rahib. Bersama para saudaranya, rahib mengambil bagian dalam iba­dat liturgis gerejani, yang disebut “Ibadat Harian”. Mereka memuji dan memohon kepada Allah di dalam Gereja dan sebagai anggota Gereja. Seba­gai bagian dari Gereja, mereka bertugas menampakkan wajah Gereja yang berdoa. Ibadat Hari­an di Rawaseneng dilakukan bersama tujuh kali sehari, dengan Perayaan Ekaristi sebagai puncak­nya. Ibadat pertama sudah dimulai sejak pagi-­pagi buta pukul 03.30 WIB, sedangkan ibadat ter­akhir berlangsung pukul 19.45 WIB. Setiap iba­dat sebagian besar terdiri dari mazmur dan ki­dung yang dinyanyikan.

Ibadat Harian akan mandul tanpa berbuah kalau tidak dijiwai secara pribadi. Oleh karena itu rahib harus meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi. Selain berfungsi sebagai jiwa ibadat, doa pribadi juga dimaksudkan untuk mem­perdalam hidup batin rahib. Doa batin-pribadi dengan doa liturgis-bersama saling mengisi dan memperkaya. Keduanya menjadi sarana utama bagi rahib untuk berdialog terus-menerus dengan Allah.

Karena doa merupakan dialog, maka per­tama-tama rahib harus bersikap mendengarkan. Latihan mendengarkan suara Allah ini dilaksana­kan secara khusus dalam bacaan suci atau Lectio Divina. Lectio Divina dapat diartikan sebagai bacaan yang bemuara ke dalam doa. Karena itu, dalam Lectio Divina, ada unsur-unsur: membaca teks, meresapkannya dalam hati dengan cara mengulang-ulang, lalu secara spontan mengucap­kan doa sebagai jawaban atas sentuhan rahmat yang diperoleh melalui teks tersebut. Bahan uta­ma Lectio Divina adalah Kitab Suci. Khususnya dengan mendengarkan suara Allah secara terus menerus dalam Kitab Suci, rahib semakin dibentuk dan diresapi oleh semangat Allah sendiri; ia semakin ditarik oleh-Nya untuk bersatu dengan­Nya.

Tentu saja rahib tidak dapat hidup hanya de­ngan berdoa. Rahib harus bekerja juga. Kerja ra­hib terutama untuk mencari nafkah yang diperlu­kan bagi hidupnya. Menurut St. Benediktus rahib harus hidup dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari bantuan atau derma orang lain. Kerja di sini dapat dilihat pertama-tama sebagai suatu pelayanan dan pengabdian bagi sesama saudaranya sebiara.

Mata pencaharian utama rahib Rawaseneng ialah mengusahakan peternakan sapi perah dan perkebunan kopi. Di samping itu ada juga pem­buatan kue, pengolahan susu (pasteurisasi), kebun buah-buahan dan sayur mayur. Tentu saja semua pekerjaan tak mungkin ditangani oleh para rahib sendiri. Oleh karena itu, ada banyak karyawan yang membantu mereka. Sehingga dengan peternakan dan perke­bunan, secara tidak langsung Pertapaan Rawase­neng menyediakan lapangan kerja bagi orang desa sekitarnya. Selain bekerja dalam peternakan dan perkebunan, para rahib juga mengerjakan tugas-tugas lainnya, seperti di bidang administra­si, pertukangan kayu, bengkel, pelayanan orang sakit, dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya.

Ketiga latihan utama ini harus mendapatkan tempat yang seimbang dalam acara hidup harian rahib. Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini ialah supaya ketiga latihan mendapatkan waktu dan perhatian sedemikian rupa sehingga perkembangan hidup kerahiban para anggotanya dapat dijamin.

4. Kenyataan Hidup

Apa yang sudah kita bicarakan sampai seka­rang lebih menyoroti ideal hidup rahib Cisterciensis. Setiap orang yang mampu berpikir secara kritis pasti memahami bahwa dalam hidup ini sering terdapat ketidakcocokan antara ideal dan kenyataan. Sering dialami bahwa teori berbeda dari prakteknya. Bahkan kadang-kadang perbedaan itu demikian mencolok.

Di satu pihak, kita harus tetap berpegang teguh pada cita-cita, pada ideal. Karena hidup tanpa suatu cita-cita luhur dan jelas, membuat orang berjalan tanpa arah. Di lain pihak, kita harus berpijak pada kenyataan hidup yang real. Orang yang terlalu berpegang pada idealisme, sehingga melupakan kenyataan, dapat dikatakan pasti akan mengalami banyak kekecewaan dalam hidupnya.

Ada banyak alasan untuk menjadi kecewa! Kecewa karena ternyata saudara sebiaranya ma­sih manusia biasa yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Kecewa karena melihat kurang adanya disiplin dalam hidup para rahibnya dan sebagainya. Bahkan dapat juga kecewa terhadap diri sendiri.

Selain itu suasana dan acara hidup yang se­nantiasa sama, monoton, dapat dirasa berat juga. Hidup Cisterciensis memang tak mengenal ba­nyak variasi. Setiap hari seakan-akan sama saja: rentetan tugas dan kewajiban yang selalu terulang pada saat dan dengan cara-cara yang sama; bertemu dengan orang yang itu-itu juga. Semuanya bisa membosankan, menjemukan, dapat menyebabkan rasa kering. Sehingga timbul keraguan: apakah aku terpanggil hidup sebagai rahib dengan saudara-saudara yang seperti ini? Di manakah Allah yang kucari? Apakah makna hidup ini? Semua terasa hambar, bahkan doaku yang dahulu begitu berkobar, sekarang menjadi gersang?

Bagi seorang rahib hidup ini tetap suatu perjuangan. Pada saat-saat kecewa, bosan dan pahit, ia seakan-akan ditantang kembali, untuk sekali lagi membarui niatnya yang semula. Selangkah demi selangkah, ia harus menempuh jalan panjang untuk mencapai cita-citanya: berdaya upaya meneladan Kristus, menjadi kembaran Kristus dalam hal kebaikan dan kerendahan hati, kemurnian dan penyangkalan diri, ketaatan dan kesediaan hati untuk berkorban.

Dalam saat-saat seperti itulah, ia dituntut un­tuk hidup lebih berdasarkan imannya. Pada saat itulah, ia semakin disadarkan bahwa ia hidup ber­sama saudara-saudaranya bukan berdasarkan ke­samaan hobi, bukan karena rasa cocok, bukan karena ikatan darah, melainkan pertama-tama karena kesatuan panggilan dan cita-cita. Dalam saat seperti itu, ia disadarkan bahwa kehendak Tuhan-lah yang telah membawa ia masuk ke dalam biara, bahwa ia tidak memilih sendiri sau­dara-saudara sebiara, demikianpun mereka tidak memilih dia, bahwa semua berada di biara karena dalam iman mau menjawab panggilan Tuhan. Dan bahwa bersama saudara-saudaranya inilah, ia telah mengikat diri seumur hidup dalam kaul stabilitas, untuk bersama-sama menanggung beban bersama menuju citai-cita bersama.

Gerakan hidup kerahiban mulai timbul seki­tar permulaan abad IV, di padang gurun Mesir sekitar Bengawan Nil. Gerakan ini didorong oleh keinginan batin yang berkobar-kobar untuk menghayati hidup Kristen secara radikal dan konsekuen.  Baca lebih lanjut

Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-­Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang di­baktikan kepada doa. Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bu­kan karena, ia tak mau ambil pusing akan kese­lamatan mereka, melainkan karena dengan pang­gilannya itu, ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disum­bangkannya? Baca lebih lanjut

Masuk ke dalam biara tidak berarti menjadi suci dalam waktu singkat. Tidak ada seorang pun yang menjadi rahib secara otomatis. Seorang anggota baru tentu masih harus banyak menyesuaikan diri dengan irama hidup Pertapaan. Baca lebih lanjut

Sesuai dengan semangat hidup kerahiban yang bercorak kontemplatif para rahib Rawaseneng membatasi diri dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Pembatasan dan keterpisahan ini bukan berarti sama sekali tertutup dan mengiso­lasi diri dari dunia luar. Baca lebih lanjut