Panggilan Hidup Trappist Bagian Keempat
IV. Sumbangan Para Rahib
1. Pelayanan Kepada Para Tamu
Sesuai dengan semangat hidup kerahiban yang bercorak kontemplatif para rahib Rawaseneng membatasi diri dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Pembatasan dan keterpisahan ini bukan berarti sama sekali tertutup dan mengisolasi diri dari dunia luar. Karena sesuai juga dengan tradisi para rahib, Pertapaan Rawaseneng terbuka untuk para tamu yang datang berkunjung.
Pelayanan yang disumbangkan oleh para rahib kepada para tamu ialah kehidupan komunitas sendiri. Kehidupan komunitas dan suasana pertapaan sudah merupakan kesaksian yang berharga. Para tamu diberi kesempatan untuk turut serta merayakan ibadat bersama para rahib. Para tamu yang menyaksikan kehidupan para rahib dan turut dalam ibadat mereka diingatkan akan adanya nilai-nilai lain dalam hidup ini yang lebih mendalam. Tamu-tamu yang percaya kepada Tuhan diingatkan akan pengaruh Tuhan dalam hidup mereka. Dengan demikian pelayanan para tamu dapat dilihat sebagal karya kerasulan. Selain itu ada juga tamu yang datang untuk mengadakan retret, rekoleksi, konsultasi pribadi, atau meminta bimbingan rohani. Maka, karya di Kamar Tamu sebagian juga merupakan karya pastoral.

2. Pelayanan Kepada Gereja
Sumbangan paling berharga yang dapat diberikan oleh komunitas Rawaseneng kepada Gereja, khususnya di Indonesia, ialah kehidupannya sendiri. Para rahib Rawaseneng tidak mempunyai tugas/karya kerasulan ke luar seperti para Imam atau Bruder lainnya. Misalnya: mereka tidak bertugas menggembalakan umat beriman di paroki, tidak mengajar di sekolah dan sebagainya. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa biara kontemplatif, termasuk Rawaseneng, tidak merasul. Tadi sudah disinggung bahwa karya di kamar tamu ada segi pastoral dan kerasulannya. Dengan perkataan lain, kerasulan para rahib bukan berupa kegiatan di luar biara, melainkan tetap dalam lingkup biara itu sendiri.
Sejauh diperlukan dan sejauh dalam komunitas ada anggota yang mampu melakukannya, pertapaan juga menyumbangkan jasa-jasa tertentu, meskipun hanya bersifat sementara. Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa pernah ada anggota pertapaan yang memberikan sekedar sumbangan dalam bidang liturgi, musik gereja, MASRI, Panitia Spiritualitas, karangan-karangan bidang rohani dan sebagainya. Tetapi sumbangan seperti itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Karena sekali lagi, sumbangan yang paling utama tetap terletak dalam penghayatan hidup kontemplatifnya.
3. Pelayanan Kepada Masyarakat Setempat
Yang dimaksudkan dengan masyarakat setempat adalah masyarakat di sekitar Pertapaan, termasuk para karyawan Pertapaan.
Seperti sudah disinggung, karya-karya Pertapaan memerlukan banyak karyawan. Dengan demikian karya pertapaan menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Dapat dikatakan, karya-karya tersebut mempunyai pengaruh dalam bidang sosio-ekonomi masyarakat sekitar.
Karena kerja tangan dalam biara-biara kontemplatif dijunjung tinggi, maka kiranya hal ini juga mempunyai arti yang besar bagi masyarakat. Banyak orang menganggap rendah kerja tangan. Pekerjaan tangan dipandang hina, seakan-akan hanya diperuntukkan bagi orang yang berpendidikan rendah saja. Dalam suasana pembangunan yang sedang populer di masyarakat kita, jelas bahwa sikap tersebut dapat menghambat pembangunan. Para rahib memberikan tempat terhormat pada kerja tangan dalam hidup mereka. Dengan demikian mereka mengingatkan masyarakat bahwa mereka pun harus menjunjung tinggi kerja tangan yang sangat diperlukan demi suksesnya pembangunan.
Pada waktu-waktu tertentu pertapaan memberikan bantuan bagi masyarakat, misalnya: menolong orang miskin dan desa sekitar (memberi makan dan sebagainya), menolong masyarakat memperbaiki jalan dan lain-lain. Ada jalinan yang cukup baik antara pertapaan dengan masyarakat setempat.
4. Pelayanan Kepada Masyarakat Luas/Dunia
Dewasa ini, dunia semakin menjadi ramai, bising dan sibuk. Kehidupan menjadi padat, tertekan oleh seribu satu informasi yang dihujankan bertubi-tubi oleh alat-alat komunikasi modern. Banyak orang mengalami tekanan psikis karena otak dan syaraf manusia harus mengolah semua itu secara terus-menerus.
Dalam keadaan yang serba sibuk ini, orang memerlukan tempat yang hening dan teduh. Biara-biara kontemplatif dapat memberikan andil bagi mereka, untuk menemukan kembali keseimbangan rohaninya.
Almarhum Paus Paulus VI pemah memberikan amanatnya kepada para rahib Ordo Trappist sebagai berikut: “Kehidupan anda juga menjadi contoh tanpa tanding yang justru diperlukan oleh masyarakat kita. Sering masyarakat kita membiarkan diri diserap sama sekali oleh barang-barang temporal. Berkat kesunyian dan doanya, biara-biara anda merupakan pulau atau pusat yang memberi sumbangan kepada dunia untuk memulihkan keseimbangan rohaninya. Anda memberikan sumbangan ini bukan hanya secara lahir. Lebih-lebih anda memberikannya juga dalam misteri persekutuan para kudus. Sebab kalau tidak begitu, dunia akan dicekik oleh aktivisme yang menjadi-jadi. Dunia akan kehilangan kepekaannya terhadap nilai yang hakiki”.


Penutup
Demikianlah selayang pandang kehidupan tapa para rahib di Rawaseneng. Inilah bentuk kehidupan yang indah dan luhur, namun sulit pelaksanaannya. Namun yang sulit itu menarik, karena orang merasa ditantang untuk menjalaninya.
Inilah bentuk kehidupan yang menuntut orang bermental baja untuk menjalaninya yang menuntut keikhlasan dan serah diri total dan sebagai hadiahnya: Allah sendiri.
Dengan kerinduan hati, orang mencari Tuhan, karena Tuhan telah lebih dahulu mencintainya.
“Anda tak ’kan hidup, sebelum menaruh cinta kasih.
Anda tak ’kan menaruh cinta kasih, sebelum anda menyerahkan segenap hati anda.
Anda tak ’kan menyerahkan segenap hati anda, sebelum anda menemui Tuhan
Maka, anda akan mengetahui kebahagiaan yang telah disediakan bagi anda.”
Gerakan hidup kerahiban mulai timbul sekitar permulaan abad IV, di padang gurun Mesir sekitar Bengawan Nil. Gerakan ini didorong oleh keinginan batin yang berkobar-kobar untuk menghayati hidup Kristen secara radikal dan konsekuen. Baca lebih lanjut
Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang dibaktikan kepada doa. Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bukan karena, ia tak mau ambil pusing akan keselamatan mereka, melainkan karena dengan panggilannya itu, ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disumbangkannya? Baca lebih lanjut
Masuk ke dalam biara tidak berarti menjadi suci dalam waktu singkat. Tidak ada seorang pun yang menjadi rahib secara otomatis. Seorang anggota baru tentu masih harus banyak menyesuaikan diri dengan irama hidup Pertapaan. Baca lebih lanjut
Sesuai dengan semangat hidup kerahiban yang bercorak kontemplatif para rahib Rawaseneng membatasi diri dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Pembatasan dan keterpisahan ini bukan berarti sama sekali tertutup dan mengisolasi diri dari dunia luar. Baca lebih lanjut