Panggilan Hidup Trappist

Kata bertapa sering anda dengar. Anda bisa mengartikan bermacam-macam. Pergi ke tempat sunyi, jauh dari kebisingan, ke gua-gua, kuburan atau makam keramat, tepi laut dan sebagainya. Maksudnya? Mencari kesaktian, pangkat, kekayaan, umur panjang, pokoknya apa saja bisa menjadi alasan untuk bertapa. Caranya? Sering berpuasa, mati raga, berjaga, tidak tidur semalam suntuk, bersamadi, dan sebagainya.

Itukah juga corak bertapa yang dilakukan para biarawan di Rawaseneng? Anda kami ajak mengenal lebih dekat dengan para pertapa dari Rawaseneng. Sesudah mengenal lebih dekat, barulah anda menilainya, sejauh mana gambaran bertapa tersebut sama dengan yang dilakukan oleh para pertapa Rawaseneng.

Ada kata lain untuk bertapa, yang aslinya adalah kata Arab: “Rahib” dan untuk pertapa wanitanya disebut “Rubiah”. Umumnya di Indonesia, kata rahib digunakan untuk pertapa Kristen. Hidup bertapanya disebut juga “hidup kerahiban”. Kata ini mau menerjemahkan kata Latin: “monachus”. Dan bahasa Latin itu juga mengambil alih kata Yunani, “monos” yang berarti: tersendiri, menyendiri atau orang yang hidup menyendiri, mengasingkan diri dari masyarakat ramai.

Ada banyak corak hidup kerahiban dalam Gereja Katolik, seperti juga ada banyak ragam hidup bertapa dalam kalangan agama-agama besar di dunia ini.

Dalam tulisan ini, kami hanya akan menyajikan corak hidup kerahiban seperti yang dijalankan para rahib di Rawaseneng saja.

Semoga perkenalan singkat ini menggugah anda untuk mengenalnya lebih mendalam.

I. Sejarah Singkat Hidup Kerahiban

1. Asal Usul Hidup Kerahiban Kristen

Gerakan hidup kerahiban mulai timbul seki­tar permulaan abad IV, di padang gurun Mesir sekitar Bengawan Nil. Gerakan ini didorong oleh keinginan batin yang berkobar-kobar untuk menghayati hidup Kristen secara radikal dan konsekuen. Mereka menjadi rahib bukan untuk mengajar atau merasul, melainkan dengan tujuan utama: mau menjalani dan menghayati cita-cita Injili sebaik dan seradikal mungkin. Apakah sebetulnya cita-cita Injili itu? Intinya dapat dika­takan: bersatu seerat-eratnya dengan Allah mela­lui Kristus (hal ini diungkapkan dengan macam-macam cara, misalnya: Kerajaan Allah, Kesela­matan, Kebahagiaan Kekal). Untuk mencapai cita-cita ini mereka mengasingkan diri dari “dunia”, masuk ke dalam kesunyian gurun. Mereka menjalani laku tapa yang keras, meng­ingkari hal-hal duniawi dan berdoa tanpa kunjung henti.

Dorongan batin untuk menghayati cita-cita Injili seradikal mungkin ini dituangkan dalam macam-macam bentuk. Umumnya dapat dibeda­kan dua golongan besar rahib. Mereka yang hidup sendiri-sendiri disebut eremit, dan para rahib yang hidup bersama dalam satu biara, disebut senobit. Bapak dan tokoh eremit yang terkenal di Mesir ialah St. Antonius (250-356). Riwayat hidupnya dikarang oleh St. Athanasius. Sedang bapak para senobit ialah St. Pakhomeus (290-346).

Hidup dan ajaran para rahib Mesir ini berhasil diperkenalkan ke Gereja Barat, antara lain melalui tulisan-tulisan St. Athanasius, St. Hiro­nimus dan Yohanes Kasianus. Di antara para rahib Barat, St. Benediktus-lah yang dapat dika­takan sebagai penegak dan bapak kerahiban Barat. Khususnya pengaruh St. Benediktus sema­kin meluas berkat Peraturan hidup kerahiban yang disusunnya.

2. Santo Benediktus dan Peraturannya

St. Benediktus lahir di Nursia, Italia, pada tahun 480 dari keluarga bangsawan. Sebagai mana layaknya putera-putera bangsawan waktu itu, pemuda Benediktus dikirim oleh ayahnya ke Roma untuk menuntut ilmu supaya kelak menda­pat kedudukan terhormat dalam masyarakat.

Namun tak lama sesudah tiba di Roma, Be­nediktus mengubah arah hidupnya. St. Gregorius Agung, pengarang riwayat hidupnya menga­takan: “Ketika didapatinya banyak mahasiswa bejat hidupnya, dibuatnya keputusan untuk meninggalkan dunia yang baru saja hendak dima­sukinya itu. Sebab ia takut, kalau ia ikut men­cicipi ilmu mereka, ia akan turut mereka tercebur ke dalam kebinasaan. Jadi ditinggalkannya studi, keluarga dan warisannya. Dipeluknya hidup ke­rahiban karena ia mau menyenangkan Allah semata-mata. Dalam mengambil langkah ini ia sadar sepenuhnya bahwa ia mengurbankan ilmu. Ia sungguh berhikmat meskipun tak terpelajar”. Pergilah pemuda Benediktus ke Subiaco dan menjadi eremit dalam sebuah gua selama tiga tahun.

Rupanya Tuhan mempunyai rencana lain dalam hidup Benediktus. Ia mulai dikenal, banyak orang datang untuk meminta nasehat dan bimbingannya. Kemudian ia berhasil mendirikan 12 pertapaan kecil, masing-masing beranggota­kan 12 orang rahib dengan seorang pemimpin yang disebut “Abas”. Mulailah ia merintis hidup senobit bagi para rahibnya.

Karena iri hati seorang imam bernama Florensius, Benediktus dan para rahibnya terpaksa mengungsi dari Subiaco ke Monte Cassino, dekat kota Napoli. Di sana ia mendirikan perta­paan baru, yang sampai sekarang masih ada. Di sana ia menyusun sebuah anggaran dasar atau Peraturan yang mengatur hidup para rahibnya. Di sana pula ia tutup usia pada tanggal 21 Maret 547.

3. Ordo Cisterciensis/Trappist

Pada tahun 1098, sejumlah rahib dari biara Benediktin di Molesme, Perancis, dipimpin oleh St. Robertus, St. Alberikus dan St. Stefanus Harding, meninggalkan biara mereka dan membuka hutan Citeaux (dekat kota Dijon) sebagai tempat untuk biara mereka yang baru. Di Citeaux ini, mereka menjalankan hidup bertapa secara keras, yang mereka anggap lebih sesuai dengan semangat asli St. Benediktus. Mereka khususnya menekankan kesederhanaan dan kerja tangan, yang menurut hemat mereka sudah kurang mendapat perhatian di biara Molesme. Dan nama “Citeaux” inilah muncul nama “Ordo Cisterciensis”.

Beberapa waktu lamanya tak seorangpun mau menggabungkan diri dengan para rahib Citeaux, karena takut melihat cara hidup mereka yang keras. Hal ini membuat para rahib gelisah dan putus asa. Siang malam dengan mencucur­kan air mata mereka mohon panggilan kepada Tuhan. Ternyata doa mereka tidak sia-sia. Pada tahun 1112, di luar dugaan, rahmat Allah mengirimkan pemuda Bernardus bersama 30 orang sanak saudara dan temannya sekaligus masuk bi­ara Citeaux. Berkat pengaruh St. Bernardus da­lam beberapa dekade saja Ordo Cisterciensis me­luaskan sayapnya di benua Eropa. Sebelum St. Bernardus wafat pada tahun 1153, sudah ter­sebar hampir 350 buah biara Cisterciensis di seluruh Eropa.

Sayang kejayaan ini tidak bersifat langgeng. Sejak abad XIV, kemerosotan mulai menggerogoti Ordo, kecemerlangan Cisterciensis sema­kin memudar. Kemerosotan ini antara lain dise­babkan juga oleh wabah penyakit pes, pepe­rangan-peperangan, skisma dan timbulnya Reformasi Protestan.

Meskipun demikian tiap kali ada biara-biara yang ingin membarui diri. Dalam abad XVII ada biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara Observansi Ter­tib. Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe yang dari tahun 1664- 1700 dipimpin oleh Abas De Rancé. Semangat pembaruan biara La Trappe mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara lainnya di Perancis.

Pada masa Revolusi Perancis (akhir abad XVIII), hampir semua biara Cisterciensis, baik di Peran­cis maupun di negara-negara lainnya, disapu ber­sih oleh Napoleon. Sesudah jatuhnya Napoleon (1814), para rahib yang masih bertahan mendi­rikan biara-biara lagi. Sejak waktu itu, para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih di­kenal sebagai rahib “Trappist”. Sebagian dari biara-biara Cisterciensis yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali. Dengan demikian dewasa ini ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut “Ordo Cisterciensis Observansi Umum” dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau “Ordo Cisterciensis Observansi Tertib”, yang juga dikenal sebagai “Ordo Trappist”. Kedua Ordo tersebut terdiri dari biara-biara rahib dan biara-­biara rubiah. Dengan kata lain, kedua Ordo terdiri dari dua cabang, yaitu: cabang pria dan cabang wanita. Menurut statistik tabun 1995, S.O.Cist. mempunyai 88 biara cabang pria dan 63 biara cabang wanita. Sedangkan OCSO menurut statistik tahun 1995 mempunyai 93 biara cabang pria dengan anggota 2.600 rahib dan 65 biara cabang wanita dengan anggota 1.883 rubiab, sehingga jumlah anggota keseluruhan adalah 4.483 orang. Dalam tulisan ini kami selan­jutnya hanya akan membicarakan “Ordo Cister­ciensis Observansi Tertib” atau Ordo Trappist saja, khususnya kehidupan para rahib Trappist di Rawaseneng.

4. Pertapaan Rawaseneng

Rawaseneng adalah nama sebuah desa kecil, 14 Km dari kota Temanggung di Jawa Tengah. Agak jauh dari desa, di pelosok, berdampingan dengan masyarakat pedesaan terletak sebuah pertapaan dari Ordo Trappist. Sebelum digunakan untuk pertapaan, pada tahun 1936 berdirilah di sana sekolah pertanian asuhan para Bruder Budi Mulia (BM). Ketika pecah clash fisik pada tahun 1948, sekolah beserta asrama, biara dan bangunan gereja yang ada, dibumihanguskan sehingga tinggal puing-puing. Pada tahun 1950, datanglah ke Indonesia Pater Bavo van der Ham, seorang rahib Trappist dari biara Konings­hoeven-Tilburg, di negeri Belanda, untuk menjajaki segala kemungkinan bagi pendirian biara cabang. Setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa Tengah, akhirnya pilihan jatuh pada Rawaseneng. Mulailah dibangun pertapaan di atas puing-puing bekas sekolah pertanian. Tiga tahun kemudian, tanggal 1 April 1953, Pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng dibuka secara resmi sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg.

Sedikit demi sedikit berdatangan para pemu­da yang ingin menggabungkan diri. Sehingga pada tanggal 26 Desember 1958, Pertapaan Ra­waseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status “Keprioran”. Pada tanggal 23 April 1978 dalam rangka Pesta Perak berdirinya biara, status pertapaan maju setapak lagi menjadi “Keabasan”. Rm. Frans Harjawiyata terpiih men­jadi Abas-nya yang pertama.

Rawaseneng merupakan satu-satunya biara Trappist pria di Indonesia. Tetapi pada akhir tahun 1995, Pertapaan Rawaseneng mulai menga­dakan Pra Fundasi di Flores di Keuskupan Larantuka. Jumlah anggota pertapaan Rawaseneng pa­da awal tahun 1996 ada 47 rahib. Biara Trappist wanita sudah dibuka secara resmi pada awal tahun 1987 di Gedono, dekat Salatiga, Jawa Tengah. Pada awal tahun 1996, jumlah anggota­nya ada 27 rubiah.

Gerakan hidup kerahiban mulai timbul seki­tar permulaan abad IV, di padang gurun Mesir sekitar Bengawan Nil. Gerakan ini didorong oleh keinginan batin yang berkobar-kobar untuk menghayati hidup Kristen secara radikal dan konsekuen.  Baca lebih lanjut

Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-­Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang di­baktikan kepada doa. Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bu­kan karena, ia tak mau ambil pusing akan kese­lamatan mereka, melainkan karena dengan pang­gilannya itu, ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disum­bangkannya? Baca lebih lanjut

Masuk ke dalam biara tidak berarti menjadi suci dalam waktu singkat. Tidak ada seorang pun yang menjadi rahib secara otomatis. Seorang anggota baru tentu masih harus banyak menyesuaikan diri dengan irama hidup Pertapaan. Baca lebih lanjut

Sesuai dengan semangat hidup kerahiban yang bercorak kontemplatif para rahib Rawaseneng membatasi diri dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Pembatasan dan keterpisahan ini bukan berarti sama sekali tertutup dan mengiso­lasi diri dari dunia luar. Baca lebih lanjut